UU Migas Dinilai Gagal Tingkatkan Nilai Tambah bagi Produk Migas

Print PDF

indoPetroNews.com - Setelah PT. Pertamina terkaburkan oleh UU Migas, tampaknya perusahaan plat merah ini akan disingkirkan lagi dari pengelolaan migasnya lewat revisi UU Migas yang bakal 'dimainkan' oleh para pihak yang menjadi penggiat neo-lib.

"Padahal UU Migas telah terbukti gagal meningkatkan nilai setinggi-tingginya dari migas, LNG, LPG, kondensat dan produk lainnya oleh penyerahan hak untuk menjual hasil-hasil tersebut ke pihak swasta.

UU Migas ini telah pula mengaburkan status asset-asset negara yang terkait dengan investasi PSC. UU Migas juga telah gagal menarik investor migas dengan diberlakukannya perpajakan baru sebagaimana dimaksud Pasal 31 UU No. 22 Tahun 2001, yang menutup berlakunya perpajakan ‘lex specialis’.

UU Migas ini pada akhirnya sama sekali tidak memberikan keuntungan baik bagi pelaku-pelaku industri migas maupun kepada APBN," kata Ketua Umum Solidaritas Pensiunan Karyawan Pertamina (eSPeKaPe), Binsar Effendi Hutabarat, di Jakarta, Kamis (26/2).

Binsar dengan tegas menyatakan bahwa Pertamina saat mengemban UU Nomor 8 Tahun 1971, adalah demi menjalankan amanat Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945.

“Bukan seperti UU Migas No.22 Tahun 2001 yang melahirkan BP Migas dan BPH Migas, sehingga tata kelola migas yang trend sebenarnya bersifat terintegrasi menjadi di'unbundling'. Ini yang menjadi sumber masalahnya,” kata Binsar.

Menurut Binsar, sistem Kontrak Kerja Sama (KKS) yang dijalankan BP Migas saat Priyono berkuasa, pada dasarnya telah merubah peranan sistem Production Sharing Contract (PSC). Dimana Badan Usaha dan Badan Usaha Tetap (BU/BUT) diberi hak melakukan eksplorasi dan eksploitasi melalui KKS dengan BP Migas.

“Akibatnya adalah, Kontraktor KKS yang disebut BU dan BUT itu, langsung tunduk pada semua peraturan-peraturan perpajakan, bea-masuk, pungutan, retribusi, PPN dan lainnya, di tingkat pusat maupun daerah. Tidak lagi tunduk pada perpajakan khusus seperti pada sistem PSC yang diberlakukan oleh UU Pertamina No. 8 Tahun 1971," ujarnya.

Padahal, lanjut dia, sistem PSC yang diberlakukan Pertamina tempo dulu itu mewajibkan Pertamina sebagai Perusahaan Migas Negara untuk membayar pajak pendapatan Kontraktor pada Pemerintah. Sebaliknya, Kontraktor wajib mempekerjakan tenaga kerja Indonesia, wajib mendidik dan melatih mereka setelah produksi ekonomis dicapai.

"Serta Kontraktor juga diwajibkan memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri sebesar 25 persen dari bagian minyak yang dihasilkan. Maka tugas Pertamina sebagai agent of development dan security of supply menjadi tetap terjamin dari keberlangsungannya, membangun sektor migas yang dikuasai Negara dan dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat," terang dia.

"Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa konsep PSC yang dituangkan dalam Pasal 12 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1971, nampaknya menarik banyak Negara di dunia untuk meniru. Terdapat sekitar 268 kontrak PSC yang ada di 74 Negara, 80 kontrak di antaranya berada di Asia dan Australia, 69 kontrak berada di Afrika Selatan dan Afrika Tengah, 41 kontrak di Timur Tengah, 28 kontrak di Eropa Timur dan 21 di Amerika Tengah dan Carribean. Seperti halnya Petronas asal Malaysia, yang pernah belajar di Pertamina. Peraturan di Petronas itu sepenuhnya meniru konsep PSC dengan menerbitkan Petroleum Development Act 1974 (PDA 1974) hingga kini," jelas Binsar.

Ia berpendapat bahwa hal itu merupakan barrier to entry guna mengantisipasi invasi investasi dari perusahaan asing, dengan mengadakan kerjasamanya yang menggunakan bentuk PSC. Ini juga yang membedakannya dengan UU Migas yang jika dipelajari tidak memiliki barrier to entrynya.

"Sayangnya MK tidak mengamandemen Pasal 31 UU Migas tentang perpajakan dan pasal-pasal mengenai status BP Migas sebagai regulator, tapi juga penandatangan KKS. Suatu kontrak kerjasama komersial, bukan izin," imbuhnya.

Lebih lanjut, Binsar menerangkan, jika saat ini kontribusi Pertamina masih di bawah 25%, tentu bukan suatu hal yang mengherankan dan bukan pula warisan Pertamina masa lalu, karena memang Pemerintah dan DPR kesannya membiarkan ada transaksi, jika asing yang menguasai migas Indonesia. Epan

Sumber :  http://www.indopetronews.com/2015/02/uu-migas-dinilai-gagal-tingkatkan-nilai.html